Minggu, 16 September 2012

Jangan Biarkan Bintang itu Berhenti Berpijar……..




Bismillahirohmanirrohim….selembut cahaya mentari yang menyapa pagi, sebening embun yang menyentuh bumi, seluas samudra yang terbentang seperti itu kuagungkan Engkau. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang Rahman-Nya tak berhenti untuk hamba-hamba-Nya, untukku yang masi diberi kesempatan dan kemampuan untuk menulis. Semoga pembaca senang membacanya dan dapat mengambil manfaat dari tulisan ini.
             “ jiwa anak itu bagaikan selembar kertas putih yang menanti orang dewasa untuk mengisinya”, subhanallah………! Jika kita membaca rangkaian kalimat ini, betapa besar dan betapa berat tugas kita sebagai orang dewasa yang harus mengisi lembaran putih itu. Apakah kita akan satu garis yang akan kita goreskan dilembar putih itu?, dua garis?, atau banyak garis yang akan kita goreskan? yang akhirnya menjadi coretan-coretan tak berarti, tak bernama?, atau sebuah cerita tanpa alur dengan tinta merah untuk mengingatkan. Hal ini menjadi PR bagi setiap orang dewasa, bagi orang tua terlebih bagi para pendidik dalam mengisi lembaran putih masa depan.
            Saya pernah membaca, jika tidak salah mengingat, sahabat Ali berkata yang intinya, “ anak memang terlahir dari rahim ibunya sebagai orang tua, tetapi anak bukanlah milik kita sebagai orang tua yang dengan bebas membuatnya seperti kehendak kita ”. Sebagai pendidik kita harus mampu memahami konteks kalimat ini bahwa anak atau anak didik bukanlah milik kita untuk menjadi sebagaimana yang kita inginkan. Adapun menjadikan mereka seperti apa yang kita inginkan, sama halnya kita memaksakan kehendak kita dan membunuh kreatifitas dan bakat mereka yang kita anggap tidak sesuai dan tidak kita harapkan.
            Ada sebuah cerita yang menyadarkan saya sebagai orang dewasa sekaligus sebagai pendidik. Cerita ini mengisahkan seorang anak laki-laki  yang mempunyai sifat berbeda dengan kakaknya. Ia selalu asyik dengan dunianya, warna-warna cat air yang selalu ia padukan untuk melukiskan imajinasinya menjadi hobinya. Dia seolah tidak peduli dengan kegiatan disekolahnya. Beda halnya dengan Sang kakak yang selalu mendapat prestasi di sekolahnya, selalu menjadi banggaan ayah dan ibunya. Ayahnya selalu membanding-bandingkan kakak dengan Sang adik yang dinilai selalu membuat masalah baginya.Entah apa yang dirasa sebenarnya oleh Sang adik saat itu, dia mengamuk, melampiaskan marahnya dengan memukuli teman-teman yang mengejeknya, menendang vas bunga tetangganya. Ayah marah besar atas pengaduan para tetangganya tentang anaknya. Tanpa banyak tanya tentang apa sebenarnya yang membaut sang Adik melakukan hal tersebut, Iapun dikirim ke sebuah asrama dengan harapan anaknya menjadi lebih baik. Akan tetapi, kenyataannya lain dengan yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Ia semakin tertekan. Semua guru di asrama seolah menjelma seperti monster yang menakutkan, ia membisu, menyendiri, percaya dirinya telah hancur bersama mimpi dan bakatnya. Semua teman menertawakan dan mengatakanya gila. Hari demi hari berani di hadapi, tetapi di hati hanya ada ketakutan yang dirasa.
            Ayah dan ibunya baru menyadari bahwa mereka telah kehilangan anaknya yang penuh dengan warna. Mereka berpikir dengan memasukkannya ke asrama adalah bentuk peduli mereka kepada anaknya. Ternyata peduli itu tidak hanya sekedar membuatnya menjadi lebih baik dengan cara kita sebagai orang tua. “Peduli memang mudah untuk disuarakan, tetapi pernahkah terberi pelukan, perhatian, dan ciuman hangat untuknya, pernahkah mendukungnya, mendengar keluhnya dan tidak menuntutnya menjadi seperti yang anda inginkan, sekarang semuanya telah terlambat, percaya dirinya telah hancur, dan kita tidak lagi melihat warna di lukisannya”. Pernyataan seorang guru baru yang berkunjung ke rumah mereka itu sangat mengejutkan, mereka menyesal. Menatap anak bungsunya kini  hanya sakit yang terasa. Pada akhir ceritanya Sang Guru pengganti yang memiliki kisah yang hampir sama dengan anak tersebut membangkitkan semangatnya kembali memberi warna kembali dan membuatnya lebih percaya diri. Ia pun tergugah kembali dengan karakter aslinya yang hampir terpupus harapnnya.
            Dari cerita tersebut, harusnya kita mampu mengambil pelajaran berharga bahwa anak adalah bintang masa depan yang jangan dibiarkan hilang kerlipnya. Kita harus percaya ada permata untuk mengubah dunia yang meskipun di tentang, ia akan tetap muncul dengan mengejutkan. Sebagai orang tua kita harus menahan dan mengendalikan emosi kita ketika menghadapi kesalahan anak. Kita harus mampu menemukan alasan mereka, mengapa dan apa penyebabnya
            Pembaca yang budiman, sedikit yang bisa diuraikan dengan harapan ada manfaat yang didapat. Penulis mohon maaf atas segala salah tulis dan berharap pembaca dapat memberi saran dan kritik yang bersifat membangun. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar