Bismillahirohmanirrohim….selembut
cahaya mentari yang menyapa pagi, sebening embun yang menyentuh bumi, seluas
samudra yang terbentang seperti itu kuagungkan Engkau. Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam yang Rahman-Nya tak berhenti untuk hamba-hamba-Nya, untukku
yang masi diberi kesempatan dan kemampuan untuk menulis. Semoga pembaca senang
membacanya dan dapat mengambil manfaat dari tulisan ini.
“ jiwa anak itu bagaikan selembar kertas putih
yang menanti orang dewasa untuk mengisinya”, subhanallah………! Jika kita membaca rangkaian
kalimat ini, betapa besar dan betapa berat tugas kita sebagai orang dewasa yang
harus mengisi lembaran putih itu. Apakah kita akan satu garis yang akan kita
goreskan dilembar putih itu?, dua garis?, atau banyak garis yang akan kita
goreskan? yang akhirnya menjadi coretan-coretan tak berarti, tak bernama?, atau
sebuah cerita tanpa alur dengan tinta merah untuk mengingatkan. Hal ini menjadi
PR bagi setiap orang dewasa, bagi orang tua terlebih bagi para pendidik dalam
mengisi lembaran putih masa depan.
Saya pernah membaca, jika tidak
salah mengingat, sahabat Ali berkata yang intinya, “ anak memang terlahir dari
rahim ibunya sebagai orang tua, tetapi anak bukanlah milik kita sebagai orang
tua yang dengan bebas membuatnya seperti kehendak kita ”. Sebagai pendidik kita
harus mampu memahami konteks kalimat ini bahwa anak atau anak didik bukanlah
milik kita untuk menjadi sebagaimana yang kita inginkan. Adapun menjadikan
mereka seperti apa yang kita inginkan, sama halnya kita memaksakan kehendak
kita dan membunuh kreatifitas dan bakat mereka yang kita anggap tidak sesuai
dan tidak kita harapkan.
Ada sebuah cerita yang menyadarkan
saya sebagai orang dewasa sekaligus sebagai pendidik. Cerita ini mengisahkan
seorang anak laki-laki yang mempunyai
sifat berbeda dengan kakaknya. Ia selalu asyik dengan dunianya, warna-warna cat
air yang selalu ia padukan untuk melukiskan imajinasinya menjadi hobinya. Dia
seolah tidak peduli dengan kegiatan disekolahnya. Beda halnya dengan Sang kakak
yang selalu mendapat prestasi di sekolahnya, selalu menjadi banggaan ayah dan
ibunya. Ayahnya selalu membanding-bandingkan kakak dengan Sang adik yang
dinilai selalu membuat masalah baginya.Entah apa yang dirasa sebenarnya oleh Sang
adik saat itu, dia mengamuk, melampiaskan marahnya dengan memukuli teman-teman
yang mengejeknya, menendang vas bunga tetangganya. Ayah marah besar atas
pengaduan para tetangganya tentang anaknya. Tanpa banyak tanya tentang apa
sebenarnya yang membaut sang Adik melakukan hal tersebut, Iapun dikirim ke
sebuah asrama dengan harapan anaknya menjadi lebih baik. Akan tetapi, kenyataannya
lain dengan yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Ia semakin tertekan. Semua
guru di asrama seolah menjelma seperti monster yang menakutkan, ia membisu,
menyendiri, percaya dirinya telah hancur bersama mimpi dan bakatnya. Semua
teman menertawakan dan mengatakanya gila. Hari demi hari berani di hadapi, tetapi
di hati hanya ada ketakutan yang dirasa.
Ayah dan ibunya baru menyadari bahwa
mereka telah kehilangan anaknya yang penuh dengan warna. Mereka berpikir dengan
memasukkannya ke asrama adalah bentuk peduli mereka kepada anaknya. Ternyata
peduli itu tidak hanya sekedar membuatnya menjadi lebih baik dengan cara kita
sebagai orang tua. “Peduli memang mudah untuk disuarakan, tetapi pernahkah
terberi pelukan, perhatian, dan ciuman hangat untuknya, pernahkah mendukungnya,
mendengar keluhnya dan tidak menuntutnya menjadi seperti yang anda inginkan,
sekarang semuanya telah terlambat, percaya dirinya telah hancur, dan kita tidak
lagi melihat warna di lukisannya”. Pernyataan seorang guru baru yang berkunjung
ke rumah mereka itu sangat mengejutkan, mereka menyesal. Menatap anak bungsunya
kini hanya sakit yang terasa. Pada akhir
ceritanya Sang Guru pengganti yang memiliki kisah yang hampir sama dengan anak
tersebut membangkitkan semangatnya kembali memberi warna kembali dan membuatnya
lebih percaya diri. Ia pun tergugah kembali dengan karakter aslinya yang hampir
terpupus harapnnya.
Dari cerita tersebut, harusnya kita
mampu mengambil pelajaran berharga bahwa anak adalah bintang masa depan yang
jangan dibiarkan hilang kerlipnya. Kita harus percaya ada permata untuk
mengubah dunia yang meskipun di tentang, ia akan tetap muncul dengan
mengejutkan. Sebagai orang tua kita harus menahan dan mengendalikan emosi kita
ketika menghadapi kesalahan anak. Kita harus mampu menemukan alasan mereka,
mengapa dan apa penyebabnya
Pembaca yang budiman, sedikit yang
bisa diuraikan dengan harapan ada manfaat yang didapat. Penulis mohon maaf atas
segala salah tulis dan berharap pembaca dapat memberi saran dan kritik yang
bersifat membangun. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar